Tujuh Saudara yang Suka Berselisih
Awal dari Pertikaian
Di sebuah desa bernama Rantau Indah, hiduplah tujuh bersaudara yang terkenal karena sifat keras kepala mereka. Meskipun berasal dari keluarga yang sama, mereka jarang akur. Setiap hal kecil bisa memicu pertengkaran, mulai dari siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih pintar, hingga siapa yang paling disayang Ibu.
Saudara tertua, Raka, merasa dirinya paling bijak. Adiknya, Bima, selalu menantang segala keputusan Raka. Sari, satu-satunya perempuan, kerap mencoba menengahi, tapi suaranya sering diabaikan. Lalu ada Danu, Bayu, Arga, dan si bungsu Rian, yang tak kalah keras kepala. Rumah mereka selalu ramai, bukan karena tawa, tapi karena debat tanpa akhir.
Sebuah Warisan yang Menguji
Suatu hari, ayah mereka yang sudah lama merantau kembali ke desa. Ia membawa kabar mengejutkan sebidang tanah luas di tepi sungai akan diwariskan kepada mereka. Namun, ayah memberi satu syarat: “Tanah itu hanya bisa kalian miliki jika kalian bisa bekerja sama membangun sesuatu yang bermanfaat bagi desa.”
Awalnya mereka menertawakan syarat itu. Bagi mereka, bekerja sama adalah hal mustahil. Tapi karena tergiur oleh warisan itu, mereka setuju mencoba.
Mereka pun mulai berdiskusi, tapi diskusi itu segera berubah menjadi adu argumen. Raka ingin membangun lumbung padi, Bima ingin membuat tempat latihan bela diri, sedangkan Sari mengusulkan taman baca. Masing-masing bersikeras dengan ide sendiri.
Hari berganti minggu, namun tak ada kemajuan. Tanah warisan itu hanya dipenuhi rumput liar. Para tetangga mulai berbisik bahwa tujuh saudara itu tidak akan pernah rukun.
Sebuah Malam yang Mengubah Segalanya
Suatu malam, hujan deras mengguyur desa. Petir menyambar dan angin kencang membuat atap rumah mereka bocor. Saat sibuk menampung air dengan ember, mereka mendengar teriakan dari luar. Seorang anak kecil dari rumah tetangga terjebak di tengah arus air yang deras di tepi sungai.
Tanpa berpikir panjang, ketujuh saudara itu berlari keluar. Raka memimpin, Bima melompat ke sungai, Danu dan Bayu membuat tali dari kain, sementara Arga dan Rian memegang ujungnya. Sari menenangkan ibu sang anak yang menangis.
Mereka bekerja tanpa banyak bicara, seolah lupa dengan semua perdebatan. Berkat kerja sama itu, anak kecil itu berhasil diselamatkan.
Setelah kejadian itu, mereka saling memandang basah kuyup, tapi dengan hati yang hangat. Untuk pertama kalinya, mereka merasakan arti kebersamaan yang sesungguhnya.
Membangun dengan Satu Tujuan
Keesokan harinya, mereka berkumpul kembali di tanah warisan. Kali ini, tak ada yang berdebat. Raka berbicara pelan, “Kita bisa membangun tempat perlindungan untuk warga saat banjir.” Semua setuju.
Mereka mulai bekerja keras: menebang bambu, mengumpulkan batu, dan membuat rancangan sederhana. Warga desa terkejut melihat mereka akhirnya bekerja sama. Anak-anak datang membantu membawa air, para tetua memberi nasihat.
Dalam waktu satu bulan, sebuah bangunan kokoh berdiri di tepi sungai. Tempat itu mereka namai “Rumah Tujuh Cahaya”, melambangkan kerja sama tujuh saudara yang akhirnya menyatu.
Ayah mereka tersenyum bangga. “Inilah warisan sejati,” katanya. “Bukan tanah atau bangunan, tapi hati yang bisa bersatu.”
Akhir yang Damai
Sejak hari itu, tujuh saudara itu tak pernah lagi bertengkar hebat. Mereka masih berbeda pendapat, tapi kini mereka tahu bahwa setiap perbedaan bisa disatukan bila ada tujuan bersama.
Sari membuka taman baca di dalam “Rumah Tujuh Cahaya,” Bima melatih anak-anak desa bela diri setiap sore, sementara Raka dan saudara lainnya menjaga agar tempat itu tetap berdiri kokoh.
Kini, setiap kali hujan turun, suara deras air sungai bukan lagi pengingat akan perpecahan, melainkan kenangan akan malam ketika mereka belajar arti persaudaraan.
Dan dari desa kecil itu, kisah tentang Tujuh Saudara yang Suka Berselisih menjadi legenda yang mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah siapa yang menang dalam pertengkaran, tapi siapa yang mampu menjaga hati tetap bersatu. Baca cerita lain di sini.



