Akibat Suka Mengeluh: Kisah Raka dan Pelajaran dari Langit

Akibat Suka Mengeluh: Kisah Raka dan Pelajaran dari Langit

Awal dari Kebiasaan Buruk

Raka dikenal sebagai pemuda yang rajin, tetapi ada satu sifat yang sulit ia ubah: ia selalu mengeluh.
Setiap kali bangun pagi, ia menggerutu tentang cuaca, pekerjaan, bahkan makanan di rumahnya.

“Kenapa panas sekali pagi ini?” katanya sambil mengelap keringat. “Kenapa nasi gorengnya terlalu asin?” lanjutnya tanpa sadar bahwa ibunya menatap dengan kecewa.

Di kantor, keluhannya tak berhenti. Ia mengeluh tentang bosnya yang cerewet, rekan kerja yang lambat, hingga tugas yang terlalu banyak. Bagi Raka, dunia terasa tidak pernah adil. Namun tanpa ia sadari, kebiasaannya itu mulai membuat orang menjauh. Rekan-rekannya malas berbicara dengannya, dan bahkan ibunya mulai jarang menanggapinya.

Raka tidak menyadari bahwa setiap keluhan yang ia ucapkan seperti kabut, perlahan menutupi pandangannya dari hal-hal baik di sekitarnya.

Pertemuan di Tengah Hujan

Suatu sore, Raka pulang kerja dengan wajah masam. Langit mendung, dan ia lupa membawa payung. “Tentu saja, hari ini harus hujan,” gerutunya sambil berlari kecil mencari tempat berteduh.

Ia berhenti di depan toko tua yang sudah hampir tutup. Di sana, seorang kakek duduk tenang sambil menatap hujan. Meski bajunya basah, wajahnya terlihat damai.

“Tidak bawa payung juga, Nak?” tanya si kakek ramah.
Raka hanya mengangguk kesal. “Hari ini benar-benar menyebalkan. Hujan datang di waktu yang paling salah.”

Kakek itu tersenyum kecil. “Ah, begitu ya? Padahal bagi sawah di luar sana, ini hujan yang ditunggu-tunggu.”

Ucapan itu membuat Raka terdiam. Ia menatap keluar. Air hujan memang membasahi jalan, tapi juga menyirami tanaman yang tampak segar kembali.

Kakek itu lalu menatap Raka dalam-dalam. “Nak, pernahkah kamu berpikir bahwa setiap keluhanmu adalah doa yang salah arah?”

Raka mengerutkan kening. “Maksudnya?”

“Setiap kali kamu mengeluh, kamu mengundang lebih banyak hal untuk dikeluhkan. Alam ini mendengar, dan ia akan memberimu lebih banyak alasan untuk marah.”

Hari yang Terbalik

Keesokan harinya, sesuatu aneh terjadi. Ketika Raka bangun, dunia seakan membalas keluhannya.
Listrik padam, kopi tumpah di meja, dan motor mogok di tengah jalan.

“Ya ampun! Kenapa semua hal buruk menimpaku hari ini?” serunya frustasi.

Tiba-tiba, suara lembut kakek dari toko tua terdengar di pikirannya, “Setiap keluhanmu adalah undangan bagi kesialan.”

Raka menatap langit, separuh marah, separuh bingung. “Kalau begitu, apa aku harus diam saja?” katanya pada diri sendiri.

Namun begitu ia mencoba untuk tidak mengeluh, sesuatu mulai berubah.
Ia mendorong motornya ke bengkel terdekat dan menemukan bahwa montir di sana adalah teman lamanya. Mereka tertawa mengenang masa SMA sambil memperbaiki motor. Saat listrik kembali menyala di rumah, ibunya sudah menyiapkan teh hangat sambil tersenyum.

Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Raka merasa hari itu tidak seburuk yang ia kira.

Keajaiban dari Perubahan Kecil

Sejak hari itu, Raka mencoba membatasi keluhannya. Setiap kali godaan untuk menggerutu datang, ia menarik napas panjang dan mencari hal kecil untuk disyukuri.

Ketika hujan turun, ia berkata, “Setidaknya udara jadi sejuk.”
Saat bos memberi tugas tambahan, ia berpikir, “Mungkin ini kesempatan untuk menunjukkan kemampuanku.”

Perlahan, hidupnya berubah. Ia mulai disukai rekan-rekan kerja, ibunya kembali sering tersenyum, dan bahkan promosi yang dulu tak pernah ia harapkan kini datang menghampirinya.

Raka sadar bahwa keajaiban bukan datang karena dunia berubah, melainkan karena cara pandangnya berubah lebih dulu.

Pelajaran dari Langit

Beberapa minggu kemudian, Raka sengaja mendatangi toko tua tempat ia bertemu kakek itu. Namun, toko tersebut sudah kosong dan berdebu, seolah tak pernah ada orang di sana.

Di meja kayu, ia menemukan secarik kertas bertuliskan:

“Hidup akan mencerminkan cara kamu berbicara padanya.
Keluhan memanggil gelap, syukur mengundang terang.”

Raka tersenyum. Ia menatap langit yang mulai mendung lagi, tapi kali ini ia tidak mengeluh. Ia hanya menengadah dan berkata pelan,

“Terima kasih, Langit. Aku siap menerima apa pun yang datang.” Baca berita lain di sini.

Akibat Suka Mengeluh: Kisah Raka dan Pelajaran dari Langit