Keserakahan yang Mengundang Kutukan
Di sebuah desa kecil di Jawa Barat, hiduplah seorang perempuan kaya raya bernama Nyi Bagendit. Ia dikenal memiliki harta melimpah sawah luas, ladang subur, serta rumah megah yang berdiri di tengah desa. Namun, kekayaannya tidak sebanding dengan hatinya. Nyi Bagendit terkenal sangat pelit dan sombong. Tak ada satu pun penduduk yang tidak mengenal keburukannya.
Setiap kali warga meminta bantuan atau pinjaman, ia selalu menolak dengan alasan yang kejam. Bahkan, orang yang datang untuk sekadar meminta segelas air pun diusirnya tanpa belas kasihan. Nyi Bagendit lebih memilih menimbun emasnya di dalam peti besar daripada menolong orang yang kelaparan.
Permintaan Seorang Nenek Tua
Suatu siang yang terik, seorang nenek tua datang dengan langkah lemah. Bajunya compang-camping, wajahnya keriput, dan matanya memancarkan keletihan panjang. Ia mengetuk pintu rumah besar milik Nyi Bagendit sambil berkata pelan,
“Nyi, berilah aku sedikit air. Tenggorokanku kering dan aku sudah berjalan jauh tanpa minum.”
Namun, bukannya menaruh iba, Nyi Bagendit justru tertawa mengejek.
“Air? Pergi kau, perempuan tua kotor! Jangan mengotori halamanku!”
Nenek itu menatapnya lama, lalu berkata dengan suara lirih namun tegas,
“Jika kau begitu tamak dan tidak punya belas kasih, maka suatu hari hartamu akan menjadi sumber penderitaanmu sendiri.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, nenek tersebut berjalan pergi. Nyi Bagendit tertawa puas tanpa sadar bahwa ucapannya barusan telah memanggil murka alam.
Hujan yang Tak Berhenti
Beberapa hari kemudian, langit tiba-tiba berubah kelam. Petir menyambar tanpa henti, dan hujan turun begitu deras. Air meluap dari sawah, sungai, dan kolam. Penduduk desa mulai panik, tetapi Nyi Bagendit tetap di rumahnya sambil mengamankan peti-peti harta.
“Biarlah air setinggi apa pun, asal emas ini tidak terbawa,” gumamnya. Namun, air terus naik, menenggelamkan halaman rumah, pagar, hingga dinding. Para tetangga berlarian menyelamatkan diri ke bukit, sementara Nyi Bagendit masih sibuk menggenggam harta yang ia cintai.
Ketika air mencapai atap rumah, Nyi Bagendit baru menyadari betapa berbahayanya keadaan itu. Ia menjerit dan mencoba memanggil bantuan, tapi tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Desa perlahan tenggelam, dan air menelan seluruh harta serta kesombongannya.
Munculnya Sebuah Danau
Keesokan harinya, hujan berhenti. Matahari muncul dengan sinar lembut, tetapi pemandangan yang tersisa membuat semua orang terdiam. Desa itu telah lenyap, digantikan oleh sebuah danau luas yang berkilau di bawah cahaya pagi.
Penduduk yang selamat memberi nama tempat itu Situ Bagendit, diambil dari nama perempuan yang menjadi penyebab bencana. Mereka percaya bahwa di dasar danau, masih tersimpan rumah megah dan harta milik Nyi Bagendit.
Konon, pada malam tertentu ketika bulan purnama bersinar, warga sering mendengar suara tangisan dari tengah danau. Suara itu diyakini berasal dari Nyi Bagendit, yang menyesali keserakahan dan kekejamannya semasa hidup.
Pesan dari Air yang Tenang
Waktu berlalu, dan Situ Bagendit kini menjadi tempat yang indah. Airnya jernih, dikelilingi pepohonan hijau yang meneduhkan. Namun, legenda tentang asal-usulnya tetap hidup di hati masyarakat.
Orang tua sering menceritakan kisah ini kepada anak-anak mereka, bukan hanya sebagai legenda, tetapi juga sebagai pelajaran moral. Keserakahan dan keangkuhan tidak akan membawa kebahagiaan, melainkan kehancuran.
Danau itu seolah menjadi saksi bisu bahwa kekayaan tanpa empati hanyalah ilusi. Airnya yang tenang menyimpan cerita kelam, mengingatkan setiap orang agar tidak menjadi seperti Nyi Bagendit perempuan yang kehilangan segalanya karena tak mau berbagi setetes air pun. Baca berita lain di sini.



