Impian Ingin Pergi ke Bulan
Mimpi Anak dari Desa Kecil
Di sebuah desa terpencil bernama Sukamulya, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Rafi. Setiap malam, ia duduk di depan rumahnya sambil menatap langit yang dipenuhi bintang. Namun pandangannya selalu berhenti di satu tempat bulan.
“Suatu hari nanti, aku akan pergi ke sana,” katanya sambil menunjuk langit.
Orang tuanya hanya tertawa. “Rafi, bulan itu terlalu jauh. Bahkan burung pun tak bisa terbang sejauh itu.”
Tapi Rafi tak peduli. Sejak kecil, ia menyukai segala hal tentang luar angkasa. Ia mengumpulkan gambar planet dari majalah bekas, membuat miniatur roket dari kaleng susu, dan membaca buku sains dari perpustakaan sekolah.
Murid lain sering menertawakannya. “Kau mimpi saja, Raf! Mana mungkin anak desa bisa ke bulan!” ejek teman-temannya. Namun ejekan itu justru membuat semangatnya menyala.
Langkah Kecil Menuju Langit
Saat remaja, Rafi mulai membantu ayahnya di bengkel tua milik keluarga. Ia memperhatikan setiap baut, mesin, dan cara kerja alat. Dari situlah ia belajar banyak hal tentang mekanik dan teknik.
Setiap malam, ia bereksperimen membuat roket mini dari barang bekas botol, pipa, dan serbuk soda. Beberapa kali roketnya gagal meledak di udara, bahkan pernah hampir membakar atap rumah. Tapi bukannya menyerah, Rafi justru tertawa dan berkata, “Setiap ledakan berarti aku makin dekat ke bulan.”
Ibu Rafi sering khawatir, tapi ia tahu anaknya memiliki tekad yang kuat. “Kalau kau sungguh ingin ke bulan,” kata ibunya, “pergilah setinggi mungkin, tapi jangan lupa menapak di bumi.”
Kata-kata itu menancap dalam hati Rafi.
Keajaiban dari Kesempatan
Bertahun-tahun berlalu. Setelah lulus SMA dengan nilai sains tertinggi di kabupaten, Rafi mendapat beasiswa ke universitas di kota besar. Untuk pertama kalinya, ia meninggalkan desa dan menatap langit dari balik gedung tinggi.
Di kampus, Rafi bekerja keras. Ia belajar teknologi roket, fisika luar angkasa, dan aerodinamika. Banyak orang meragukannya karena latar belakangnya yang sederhana, tapi ia membuktikan kemampuannya melalui proyek kecil bersama teman-temannya.
Suatu hari, dosennya memperhatikan ketekunan Rafi. “Kau punya semangat luar biasa. Lembaga antariksa nasional sedang mencari peneliti muda. Cobalah daftar,” kata sang dosen.
Rafi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia belajar siang malam, menulis proposal penelitian tentang bahan bakar roket ramah lingkungan, dan akhirnya diterima di program magang lembaga antariksa.
Hari itu, ia menatap langit dari balkon asrama dan berbisik, “Satu langkah lagi.”
Perjalanan yang Dinanti
Tahun demi tahun berlalu. Rafi tumbuh menjadi ilmuwan muda berbakat. Ia ikut merancang kapsul untuk misi antariksa pertama yang melibatkan peneliti lokal. Saat pengumuman kru misi, namanya disebut sebagai salah satu kandidat cadangan.
Meski tidak langsung terpilih, Rafi tetap bahagia. Ia tahu mimpinya sudah berada di ambang pintu. Namun nasib memberinya kejutan salah satu kru utama sakit sebelum peluncuran. Nama Rafi naik menjadi pengganti.
Ia berdiri di depan roket besar dengan hati berdebar. “Aku benar-benar akan ke bulan,” ucapnya lirih sambil menatap siluet bendera negaranya di samping roket.
Saat hitungan mundur dimulai, seluruh masa lalunya terlintas di benaknya bengkel ayah, tawa teman-teman, dan pelukan ibunya. Lalu, suara ledakan peluncuran menggema. Roket melesat menembus langit, membawa impian anak desa itu menuju angkasa luas.
Langit yang Akhirnya Tersentuh
Beberapa hari kemudian, Rafi menjejakkan kaki di permukaan bulan. Ia menatap bumi dari kejauhan biru, indah, dan penuh kehidupan.
Air matanya menetes di balik helm. Ia menancapkan bendera kecil buatan tangan ibunya dan berbisik,
“Untuk semua anak yang bermimpi tinggi. Jangan pernah berhenti menatap langit.”
Ketika kembali ke bumi, seluruh negeri menyambutnya sebagai pahlawan. Namun bagi Rafi, yang paling berharga bukanlah ketenaran, melainkan kenyataan bahwa mimpi masa kecilnya telah menjadi nyata.
Kini, setiap kali malam tiba, anak-anak di desanya sering duduk di bawah langit sambil menunjuk bulan, dan berkata dengan kagum,
“Di sanalah Kak Rafi pernah berdiri.”
Dan di rumah kecil di tepi sawah, ibunya masih suka menatap langit, tersenyum lembut sambil berbisik,
“Mimpimu memang tinggi, Nak. Tapi hatimu selalu kembali ke bumi.” Baca berita lain di sini.



