Kisah Batu Menangis
Gadis yang Cantik namun Angkuh
Di sebuah desa yang dikelilingi sawah hijau dan hutan lebat, hiduplah seorang gadis cantik bernama Laras. Wajahnya rupawan, kulitnya halus, dan tutur katanya terdengar lembut di depan orang banyak. Namun, di balik kecantikannya, Laras menyimpan sifat yang kurang disenangi. Ia sering merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, bahkan ibunya yang renta.
Sang ibu bekerja keras setiap hari di ladang, mengurus rumah, sekaligus menjahit pakaian demi menafkahi mereka berdua. Sementara Laras lebih suka berdandan, berjalan ke pasar, dan memamerkan parasnya. “Ibu tidak perlu ikut denganku. Aku bisa pergi sendiri,” katanya setiap kali ibunya ingin menemaninya. Padahal, ibunya hanya ingin memastikan anak semata wayangnya selamat.
Perjalanan ke Pasar
Suatu pagi, sang ibu meminta Laras menemaninya ke pasar untuk menjual hasil panen. Awalnya Laras enggan, tetapi akhirnya ia ikut karena ingin membeli kain baru. Mereka berjalan kaki cukup jauh, melewati jalan berbatu yang panas oleh terik matahari.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu beberapa orang. Melihat Laras, orang-orang kagum pada kecantikannya. Namun, ketika melihat sang ibu yang renta, pakaian lusuh, dan wajah lelah, sebagian orang berbisik, “Mengapa gadis secantik itu punya ibu seperti ini?” Bisikan itu terdengar jelas oleh Laras, dan hatinya dipenuhi rasa malu.
Kebohongan yang Menjadi Malapetaka
Saat salah satu pemuda bertanya, “Siapa wanita tua itu? Apakah dia ibumu?” Laras menjawab cepat, “Bukan, dia hanyalah pembantuku.” Kalimat itu membuat hati sang ibu tersayat. Meski begitu, ia hanya diam, berjalan tertunduk sambil menahan air mata.
Namun, semakin banyak orang bertanya, semakin sering Laras mengulang kebohongan yang sama. Sifat angkuhnya membuat ia memilih kehormatan palsu daripada mengakui kebenaran. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan pisau yang menusuk hati ibunya.
Doa Seorang Ibu yang Terluka
Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka berhenti di pinggir jalan untuk beristirahat. Sang ibu sudah tak sanggup lagi menahan perih hatinya. Ia menengadah ke langit dengan air mata mengalir deras.
“Ya Tuhan,” bisiknya lirih, “jika anakku terlalu sombong untuk mengakuiku sebagai ibunya, berilah ia pelajaran agar ia tahu arti sebuah kasih sayang.”
Doa itu diucapkan dengan hati yang penuh luka. Laras sempat mendengar bisikan tersebut, tetapi ia tidak memedulikannya. Ia hanya sibuk mengibaskan debu di pakaiannya, tidak menyadari doa itu akan segera menjadi kenyataan.
Kutukan yang Tak Bisa Dihindari
Tiba-tiba, angin berhembus kencang. Awan gelap menutupi langit. Tubuh Laras terasa berat, kakinya sulit digerakkan. “Ibu… apa yang terjadi padaku?” suaranya gemetar.
Perlahan, kulitnya mengeras, matanya membeku, dan tubuhnya berubah menjadi batu. Air mata terus mengalir dari wajahnya meski ia tidak bisa lagi bergerak. Batu itu berdiri kaku di tepi jalan, sementara tangisan seakan tak pernah berhenti keluar dari celahnya.
Orang-orang yang melewati jalan itu kemudian menyaksikan batu dengan bentuk menyerupai seorang gadis. Dari celah batu, tetesan air menyerupai tangisan terlihat mengalir. Warga desa lalu menamai batu itu Batu Menangis.
Pesan Abadi dari Kisah Batu Menangis
Sejak hari itu, Batu Menangis menjadi pengingat bagi siapa pun yang datang ke desa tersebut. Banyak orang percaya bahwa tangisan itu adalah penyesalan Laras karena telah mengingkari ibunya.
Anak-anak sering dibawa orang tua mereka ke sana, sambil mendengar pesan: jangan pernah durhaka kepada orang tua. Keangkuhan dan kebohongan bisa merenggut segalanya, bahkan kebebasan seseorang.
Sang ibu, meski hatinya hancur, tetap mendoakan anaknya. Ia berharap suatu hari tangisan batu itu bisa menjadi penebus dosa Laras di hadapan Tuhan.
Dan hingga kini, batu itu masih berdiri, airnya menetes seakan tidak pernah kering, menjadi saksi bisu betapa besar murka dan cinta seorang ibu. Baca berita lain di sini.



